Senin, 11 Agustus 2014

PERAWATAN BERKOMPETENSI BUDAYA

Keragaman di antara wanita kulit berwarna menyebabkan variasi luas dalam status kesehatan, perilaku kesehatan, dan kebutuhan perawatan kesehatan. Sebagai tenaga perawatan utama, bidan harus memastikan bahwa wanita yang berasal dari populasi yang rentan memiliki akses untuk menjangkau system perawatan kesehatan yang tanggap-budaya. Kompetensi budaya membutuhkan komitmen dalam menjalankan proses berkelanjutan [Callister, L. C. Culturally competent care for woman and newborns: Knowledge, attitude, and skills. J. Obstet. Gynecol. Neonatal Nurs. 30(2):209-215, 2001].

“Kontinum kompetensi budaya” dapat membantu bidan memenuhi kebutuhan perawatan kesehatan pada suatu populasi yang terdiri dari beraneka ragam budaya. “Kontinum kompetensi budaya” menjelaskan enam tingkat kompetensi yang berbeda-beda, yang memiliki rentang dari kompetensi destruktif hingga yang mahir. Kontinum kompetensi budaya ini dikembangkan oleh Terry Cross et al untuk menjelaskan enam tahap kompetensi pada tingkat organisasi [Cross, T. L., Brazon, B. J., Dennis, K. W. and Issacs, M. R. Towards a Culturally Competent System of Care . Washington: CASSP Technical Assistance Center, 1989]. Sejak saat itu, keenam tahapan tersebut diadaptasi sehingga dapat digunakan pada tingkat individu. Keenam tahapan tersebut sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi kekurangan ditinjau dari aspek budaya. Selain itu juga untuk menargetkan area-area yang perlu pengembangan dan peningkatan. Kontinum kompetensi budaya juga merupakan suatu kerangka untuk mengenali hal-hal yang masih bias di pihak praktisi klinik dan juga intervensi pelayanan yang diberikan [Callister, L. C. Culturally competent care for woman and newborns: Knowledge, attitude, and skills. J. Obstet. Gynecol. Neonatal Nurs. 30(2):209-215, 2001; and Cross, T. L., Brazon, B. J., Dennis, K. W. and Issacs, M. R. Towards a Culturally Competent System of Care . Washington: CASSP Technical Assistance Center, 1989].

 

Kontinum Kompetensi Budaya

Tidak Kompeten         Kompetensi

 

Merusak             Tidak Mampu             Kebutaan            Prakompetensi Kompetensi Keahlian

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber: Cross, T. L., Brazon, B. J., Dennis, K. W. and Issacs, M. R. Towards a Culturally Competent System of Care . Washington: CASSP Technical Assistance Center, 1989

Ringkasan karakteristik kontinum kompetensi budaya adalah sebagai berikut [Cross, T. L., Brazon, B. J., Dennis, K. W. and Issacs, M. R. Towards a Culturally Competent System of Care . Washington: CASSP Technical Assistance Center, 1989]:

1. Sikap merusak: Sikap, kebijakan, dan praktik yang diperlihatkan dapat menjadi hal yang merusak bagi suatu budaya. Pada tingkat individu, masyarakat pada fase ini meyakini bahwa setiap orang harus lebih menjadi “orang-orang yang mengikuti arus”.

2. Tidak mampu: Suatu system otoritas yang mengalami bias kurang memiliki kapasitas untuk memfasilitasi pertumbuhan pada kelompok dengan budaya berbeda-beda. Individu pada tingkat ini tidak memiliki keterampilan waspada-budaya dan berkeyakinan bahwa kelompok yang dominan merupakan kelompok yang menguasai secara rasial.

3. Kebutaan: Penggunaan pendekatan “kita semua adalah manusia” memungkinkan pemberian pelayanan tanpa membedakan budaya, etnik, dan ras.

4. Prakompetensi: Juga dikenal sebagai “kepekaan budaya”. Di dalamnya terdapat suatu harapan dan upaya untuk memberi pelayanan kesehatan dengan tetap menghormati keragaman budaya. Secara umum, terdapat kewaspadaan terhadap perangkat norma, nilai, dan keyakinan yang berkaitan dengan kelompok tertentu, dan bagaimana hal-hal ini memengaruhi interaksi dan pengalaman kelompok.

5. Kompetensi: Pada fase ini terdapat penerimaan dan penghargaan terhadap norma, pola, keyakinan, dan perbedaan budaya. Individu menerima pengaruh budaya mereka sendiri sehubungan dengan budaya lain dan memiliki keinginan untuk menilai komponen-komponen dalam interaksi lintas-budaya.

6. Profisiensi: Setiap individu melakukan upaya lebih dari sekedar menerima, menghargai, ataupun mengakomodasi perbedaan budaya dalam rangka mengembangkan keterampilan untuk berinteraksi dalam tatanan dengan beraneka ragam budaya. Pada fase ini, terdapat suatu motivasi untuk mengembangkan pendekatan terapeutik ditinjau dari segi budaya sekaligus memperkerjakan tenaga spesialis dalam kompetensi budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar