Skenario berikut memperlihatkan tiga fase dalam kontinum kompetensi budaya.
1. Skenario 1
a) Informasi Dasar
Tran adalah seorang wanita Vietnam berusia 21 tahun, Gravida 1, Para 0, yang mendaftar diri untuk mengikuti perawatan prenatal saat usia kehamilannya mencapai 16 minggu. Sejak tiba dari Vietnam 9 bulan yang lalu, Tran tinggal bersama bibinya yang menemaninya ke klinik. Ayah bayinya adalah pria kebangsaan Vietnam berusia 25 tahun, yang saat ini sedang menganggur. Ia sudah tiga tahun tinggal di Amerika Serikat bersama paman dan bibinya. Ia dan Tran tidak dapat berbicara dalam bahasa Inggris.
Tran dibesarkan di sebuah perkampungan kecil di pegunungan Vietnam. Ibunya mengirimnya ke sana pada saat ia berusia tiga tahun karena ia tidak dapat membiayai kehidupan anak perempuannya. Saat ibunya meninggal dunia, Tran dibawa ke Amerika Serikat oleh bibinya, yang memiliki sebuah took perhiasan kecil. Bibinya tidak berkenan menemani Tran melakukan semua kunjungan pranatalnya. Karena tidak senang terhadap kehamilan Tran, ia mengatakan bahwa ia dan kekasihnya harus mencari tempat tinggal baru bila bayinya lahir kelak. Pendidikan formal yang didapat Tran rendah dan ia hanya mampu membaca sampai tingkat empat. Dinas Pelayanan Sosial pada banyak kesempatan telah mencoba mendorong Tran untuk mengambil kelas Bahasa Inggris sebagai Bahasa Kedua yang diselenggarakan gereja setempat. Tran sempat menghadiri satu kali pertemuan dan kemudian menolak menghadiri pertemuan berikutnya. Alasannya tidak diketahui.
Tran dianggap memiliki riwayat buruk oleh staf OB di pusat kesehatan. Tran pernah datang ke klinik dengan memar di wajah dan badan bagian atas, hingga bidan curiga ia telah dianiaya. Pelayanan kebidanan di tempat itu memiliki dua orang pekerja lepas yang berasal dari Vietnam di tatanan kliniknya. Salah satu pekerja lepasnya, Lan, merencanakan menemani Tran untuk mendapatkan dukungan dari serikat pekerja. Lan menanyakan kepada Tran tentang memar di wajah dan badannya. Tran menyangkal telah dipukuli dan menyatakan memar akibat terjatuh dan menabrak sesuatu.
Rumah sakit tempat Tran akan melahirkan tidak memiliki tenaga kesehatan yang berasal dari Vietnam dalam kapasitas apapun. Pada malam hari saat Tran masuk persalinan, tenaga kesehatan lepas yang selama ini memberinya dukungan sedang mengalami krisis pribadi dengan keluarganya dan tidak bisa memberi dukungan. Bibi Tran sedang dalam perjalan bisnis. Ayah bayinya menemani Tran ke ruang bersalin dan saat melahirkan, tetapi kemudian meninggalkan Tran dan menunggu di ruang tinggu. Ia tidak pernah menengok Tran lagi sampai Tran dikirim ke ruang pascapartum.
Tran melahirkan bayi perempuan secara spontan. Lan kemudian datang ke rumah sakit keesokan harinya dan membantu Tran melakukan perawatan kepada bayinya yang baru lahir serta mempersiapkannya kembali ke rumah. Tenaga pelayanan social di rumah sakit merasa curiga terhadap Lan dan tidak percaya bahwa Lan menerjemahkan masalah Tran yang berkaitan dengan riwayat penganiayaan yang dialami Tran. Komunikasi kemudian terputus antara Tran dan tenaga kesehatan rumah sakit. Tran dipulangkan dari rumah sakit pada hari kedua pascapartum.
b) Analisis
Studi kasus ini menggambarkan kasus umum tentang prakompetensi. Pusat kesehatan merespons kebutuhan masyarakat dengan memperkerjakan dua orang tenaga lepas berkebangsaan Vietnam. Rumah sakit, sebagai perpanjangan tangan system perawatan kesehatan bagi Tran, belum berespons terhadap kebutuhan masyarakat. Langkah selanjutnya dalam kesatuan kompetensi budaya tersebut adalah penyediaan tenaga penerjemah oleh rumah sakit. Langkah lain adalah menemui administrasi pusat kesehatan untuk mengimplementasikan strategi pelayanan kesehatan di rumah sakit dan strategi yang berorientasi pada masyarakat. Dengan demikian, wanita dari budaya lain yang mereka ketahui akan mendapat perawatan di rumah sakit terkait dapat dibantu. Menurut rekomendasi Culturally and Linguistically Appropriate Service, organisasi perawatan kesehatan yang didanai oleh pemerintah harus menawarkan dan menyediakan pelayanan jasa penerjemahan tanpa dipungut biaya untuk pasien yang mengalami hambatan dalam kemampuan bahasa Inggrisnya [U.S Department of Health and Human Services, Offices of Minority Health. National Standards for Culturally and Linguistically Appropriate Services in Health Care, Executive Summary. March 2001].
2. Skenario 2
a) Informasi Dasar
Marie adalah seorang CNM berusia 26 tahun dan baru-baru ini menyelesaikan program pendidikan perawat-kebidanannya. Saat ini ia bekerja pada pusat pelayanan kesehatan di pusat kesehatan kota di Boston. Ia bertugas mengerjakan seluruh lingkup perawatan kebidanan sebagai bagian kewajibannya di National Health Service Corps. Marie merupakan keturunan Irlandia dan Italia dan dibesarkan dalam keluarga militer. Kampung halamannya di Illionis. Ia berencana kembali ke Illionis untuk dapat melangsungkan pernikahannya dan bergabung dengan praktik dokter/CNM setelah menyelesaikan tugas-wajibnya dalam dua tahun.
Gwendolin adalah seorang wanita Afrika-Amerika berusia 25 tahun. Lima persalinan pertamanya terlambat mendapat perawatan prenatal. Semua anak Gwendolin berada dalam pengawasan pemerintah. Empat anak yang lebih tua berada dalam pengawasan ibunya untuk sementara. Ia sendiri mendapatkan hak asuh untuk anaknya yang berusia dua tahan. Saat ini ia tinggal di penampungan sembari menunggu untuk ditempatkan di Section 8 (penyewaan rumah dengan harga terjangkau). Ia memiliki riwayat depresi yang kemudian diobati dengan Prozac dan konseling secara individu. Ia telah berhenti meminum Prozac saat menemukan dirinya hamil dan memutuskan tidak kembali lagi untuk mengikuti program konseling. Setelah bebas obat selama 10 bulan, hasil pemeriksaan toksikologi urinenya negative x1.
Gwendolin memiliki empat orang saudara kandung, tetapi ia tidak ingin membicarakan mereka. Dua tahun sudah berlalu sejak terakhir kali ia berbicara dengan ibunya, yang menolak memberinya izin menemui anak-anaknya. Gwendolin berhenti sekolah saat berada di kelas tujuh. Saat datang ke klinik, ia banyak menuntut dan berdebat dengan tenaga klinik. Ia jarang menepati janji kunjungan dengan alasan kendaraan yang membawanya ke klinik sulit didapat. Rumah perlindungan tempat ia tinggal memiliki waktu tempuh 35 menit ke klinik. Ia datang ke klinik jika ada tumpangan. Ayah anak-anaknya memperlakukan anak-anaknya dengan cara yang sama. Ia sering memukuli anak-anaknya dan saat ini ia menjalani hukuman penjara selama dua tahun dengan tuduhan penganiayaan terhadap Gwendolin. Ia diusir dari dua apartemen sebelumnya karena perkelahian terus-menerus antara Gwendolin dan ayah anak-anaknya.
Kunjungan perawatan prenatal Gwendolin yang kedua tidak berjalan baik. Marie dibuat kesal oleh ulah Gwendolin yang datang ke klinik tanpa pemberitahuan terlebih dahulu dan mengingkari dua janji pertemuan terdahulu. Berat badan Gwendolin 154 kg, tekanan darah 120/68, dan urinenya mengandung glukosa 2+, sedangkan protein negative. Marie memberi tahu Gwendolin bahwa ia harus menunggu karena masih ada dua pasien lagi yang lebih dahulu menunggu. Gwendolin menyetuhui hal tersebut dan pergi ke kantin untuk makan. Saat bertemu dengan Marie, Gwendolin memiliki sejumlah daftar keluhan fisik yang ingin ia bicarakan.
Tujuan Gwendolin melakukan kunjungan klinik adalah membicarakan keadaan rumah dengan tenaga kesehatan lepas dan mendapatkan pemeriksaan ultrasonografi untuk mengetahui jenis kelamin janinnya karena ia akan mulai mengumpulkan pakaian bagi bayinya. Marie menginginkan uji glukosa satu jam dan melakukan pemeriksaan toksikologi urine karena ia merasa Gwendolin sedang kambuh.
Gwendolin menolak memberi contoh urinenya dan menuduh Marie mencari-cari alasan untuk membawa pergi bayinya. Marie menolak dan membicarakan pemeriksaan ultrasonografi berikutnya dan mengatakan kepada Gwendolin bahwa ia “bisa menulis cek untuk Gwendolin senilai $500 sekarang juga karena pemeriksaan ultrasonografi untuk menentuka jenis kelamin janin adalah tindakan pemborosan”. Ia juga menekankan supaya Gwendolin tidak boleh datang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Gwendolin keluar dan pergi ke kantor direktur klinik dan menyampaikan keluhan diskriminasi terhadap dirinya.
Marie mengatakan menyesal harus menemui direktur klinik dan kesal menerima tuduhan tindak diskriminasi. Ia mengatakan bahwa ia tidak pernah membedakan Gwendolin hanya karena warna kulitnya. Ia juga beranggapan Gwendolin sulit patuh sehingga menjadi beban bagi sumber-sumber klinik. Sementara itu, direktur klinik mengatakan kepada Marie bahwa anggota tenaga kesehatan lain telah mendengar Marie menjuluki Gwendolin sebagai “kereta rusak” dan “luka berjalan”. Sebagai respons, Marie mengatakan Gwendolin tidak berhak melahirkan seorang anak lagi ke dunia ini. Sepanjang hari itu Marie memisahkan diri dan tidak berbicara kepada tenaga kesehatan lain. Gwendolin mengalihkan perawatan kesehatannya ke pelaynan kesehatan yang lain.
b) Analisis
Skenario ini memiliki unsure kompleks dan menggambarkan beberapa isu yang berkaitan. Terlihat di sini bahwa di pihak pemberi pelayanan kesehatan dan klien terjadi buta-budaya. Marie yakin ia telah merawat semua klien dengan pelayanan yang sama dan sama sekali tidak memandang rasa tau status social ekonomi klien. Ia juga yakin bahwa system pelayanan kesehatan dirancang untuk melayani setiap orang sama efektifnya. Pendekatan ini membuat Gwendolin menjadi korban dan menyalahkan dirinya atau masalahnya sehingga kemudian menyamarkan budaya yang diyakininya. Pada kondisi ini pelatihan kepemimpinan bagi Marie dapat menjadi solusinya. Dengan cara ini Marie diharapkan mampu memahami dan mengenali pengaruh akar budayanya sendiri, keyakinannya, serta perilakunya. Berdasarkan pengkajian ini, ia akan menguasai keterampilan untuk berkembang ke arah pelayanan kesehatan yang berkompetensi budaya.
3. Skenario 3
a) Informasi Dasar
Itza adalah seorang wanita menikah berusia 25 tahun, yang berasal dari Kuba. Ia datang untuk mendapatkan perawatan prenatal di klinik pelayanan kebidanan yang berlokasi di pusat kesehatan masyarakat. Itza dan suaminya, Rafael, berada di Amerika Serikat selama tujuh bulan. Mereka datang ke klinik pelayanan kebidanan atas rekomendasi sepupu perempuannya yang baru saja melahirkan dan mendapatkan perawatan persalinan dari kelompok yang sama.
Data demografik pusat kesehatan ini mengalami perubahan yang cukup pesat. Ketika populasi penduduk Hispanik/Latin di pusat kesehatan mencapai 20%, bagian tata usaha mengajukan permohonan dana ke badan Healthy Start. Dengan dana ini, pusat kesehatan mempekerjakan dua orang bidan yang dapat berbicara bahasa Spanyol, seorang asisten medis terlatih dan seorang manajer kasus. Selain itu, seluruh staf di pusat kesehatan, termasuk petugas tata usaha, sejak setahun terakhir dilibatkan dalam pelatihan yang bertujuan membuka wawasan tentang keanekaragaman budaya, antara lain dengan mengembangkan dan berpartisipasi dalam kegiatan kesehatan yang diselenggarakan di dalam masyarakat. Karena ruang tunggu di pusat kesehatan menyediakan berbagai literature Spanyol, Itza dengan cepat merasa seperti berada di rumah sendiri. Karena Itza dan Rafael tidak fasih menggunakan bahasa Inggris, tenaga kesehatan meyakinkan mereka bahwa akan hadir seorang bidan dan doula yang dapat berbicara bahasa Spanyol pada saat persalinan.
b) Analisis
Pelayanan kebidanan yang digambarkan pada scenario ini menunjukkan karakteristik lembaga yang melek budaya. Hal ini terlihat dari komitmen pelayanan kebidanan tersebut untuk mempekerjakan tenaga kesehatan yang multibudaya dan partisipasi aktifnya dalam proyek promosi kesehatan [Callister, L. C. Culturally competent care for woman and newborns: Knowledge, attitude, and skills. J. Obstet. Gynecol. Neonatal Nurs. 30(2):209-215, 2001].
Karakteristik Praktisi Berkompetensi Budaya
· Bergerak dari ketidaksadaran budaya ke kesadaran dan kepekaan terhadap warisan budaya sendiri.
· Mengenali nilai-nilai dan bias mereka sendiri serta kesadaran tentang bagaimana hal-hal tersebut dapat memengaruhi klien dari budaya lain.
· Terlihat nyaman kendati ada perbedaan budaya antara diri mereka sendiri dank lien.
· Mengetahui hal-hal spesifik tentang kelompok budaya tertentu, yang merupakan tempat mereka bekerja.
· Memahami peristiwa bersejarah yang dapat menyebabkan bahaya terhadap kelompok budaya tertentu.
· Menghargai dan menyadari kebutuhan unik klien dari beraneka ragam masyarakat.
· Memahami pentingnya keanekaragaman dalam kebudayaan juga antarbudaya.
· Berusaha keras mempelajari lebih banyak tentang masyarakat budaya melalui interaksi dengan klien, partisipasi dalam dinamika keanekaragaman budaya, dan konsultasi dengan ahli masyarakat.
· Melakukan upaya berkesinambungan untuk memahami sudut pandang klien.
· Memperlihatkan kefleksibelan dan toleransi terhadap ambiguitas dan tidak menghakimi.
· Mempertahankan rasa humor dan pikiran yang terbuka.
· Memperlihatkan keinginan untuk melonggarkan pengontrolan dalam pertemuan klinik, untuk mengambil risiko gagal, dan untuk melihat ke dalam diri hal-hal yang merupakan sumber frustasi, marah, dan menolak.
· Mengenali bahwa proses sama pentingnya dengan produk.
Sumber: Randall-David, E. Culturally Competent HIV Counceling and Education. Rockville, MD: DHHS Maternal and Chikd Health Bureau, 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar