Senin, 11 Agustus 2014

KOMPETENSI BUDAYA PADA PRAKTIK KEBIDANAN

[JO-ANNA L. RORIE, CNM, MSN, FACNM]

Amerika Serikat  merupakan negara yang terdiri dari masyarakat yang sangat majemuk. Hal ini ditunjukkan oleh perubahan demografik yang dramatis, yang terlihat dari data yang dikumpulkan pada sensus tahun 1990. Hal ini kebalikan dari kondisi yang terjadi pada imigran terdahulu, yang sebagian besar datang dari negara Eropa. Dua setengah persen populasi yang ada saat ini merupakan penduduk yang berasal dari negara Afrika, Asia, atau Pulau Pasifik, atau negara Latin atau negara Arab [Rorie, J. L., Paine, L. L., Barger, M. K. Primary care for women: Cultural competence in primary care services. J. Nurse-Midwifery 41(2):92-100 (March/April) 1996 and Callister, L. C. Culturally competent care for woman and newborns: Knowledge, attitude, and skills. J. Obstet. Gynecol. Neonatal Nurs. 30(2):209-215, 2001]. Salah satu tujuan perawatan kebidanan ialah menyediakan perawatan yang berkompetensi budaya untuk semua wanita sepanjang rentang kehidupan mereka. Praktik yang berkompetensi budaya ini sangat penting terutama bagi para bidan yang bekerja di negara semajemuk Amerika Serikat. Untuk dapat menyelenggarakan perawatan yang demikian, bidan harus memahami pentingnya kerangka budaya setiap wanita. Kerangka budaya ini nantinya akan menjadi referensi sebelum bidan melakukan tindakan keperawatan. Bidan memberi pelayanan kepada wanita dari berbagai latar belakang budaya, yang berasal dari beraneka ragam populasi. Data yang diperoleh pada tahun 1991 yang berjudul “Nurse-Midwifery Care to Vulnerable Population in the United States” merupakan suatu bentuk analisis kunjungan dan praktik yang dilakukan terhadap 5,4 juta kunjungan pasien tahunan yang dilakukan oleh CNM [Scupholme, A., DeJoseph, J., Strobino, D. M., Paine, L. L. Nurse-Midwifery care to vulnerable population phase I: Demographic characteristics of the national CNM sample. J. Nurse-Midwifery 37(5):341-347 (September/October) 1992]. Menurut penelitian ini, 71% seluruh kunjungan merupakan kunjungan para wanita dan anak-anak mereka yang berasal dari masyarakat yang rentan; 42% adalah wanita yang berasal dari ras atau etnik selain Amerika-Eropa (termasuk 19,4 persen orang Kulit Hitam, 15,8% orang Latin, 2,6% orang Amerika Asli, dan 3,3% orang Asia) [Paine, L. L., et al. Characteristics of nurse-midwife patients and visits. Am. J. Public Health 89(6):906-909, 1999]. Sebagian besar kunjungan dilakukan untuk mendapatkan perawatan maternitas termasuk pendidikan kesehatan dan konseling untuk klien, yang merupakan dua komponen utama perawatan kebidanan. Rata-rata bidan menghabiskan 22 menit bersama klien wanita selama kunjungan [Paine, L. L., et al. A comparison of visits and practices of nurse-midwives and obstetric-gynecologists in ambulatory care settings. J. Midwifery Womens Health 42(1):37-44 (January/February) 2000 and Scupholme, A., Paine, L. L., Lang, J. M., Shylendra, K., DeJoseph, J. F. Time associated with components of clinical services rendered by nurse-midwifery care to vulnerable populations in the United States. J. Nurse-Midwifery 37(5):341-347 (September/October) 1992]. Menurut Nurse-Midwifery Practice Survey yang dilakukan pada tahun 1998, CNM menggambarkan bahwa masyarakat yang mereka layani merupakan masyarakat-bukan kulit putih, pendatang (imigran), dan tidak dijamin asuransi [Declercq, E. R., Williams, D. R., Koontz, A. M., Paine, L. L., Streit, E. L., McCloskey, L. Serving women in need: Nurse-Midwifery prantice in the United States. J. Midwifery Womens Health 46(1):11-16 (January/February) 2001].

Karena perawatan kesehatan merupakan suatu konstruksi budaya – yang muncul dari keyakinan tentang karakteristik penyakit dan dampaknya pada tubuh manusia – maka isu budaya merupakan isu utama dalam mempersiapkan pelayanan perawatan kesehatan dan intervensi preventif [U.S Department of Health and Human Services, Offices of Minority Health. National Standards for Culturally and Linguistically Appropriate Services in Health Care, Executive Summary. March 2001]. Dengan demikian, bidan harus sudah siap untuk memberi perawatan yang berkompetensi budaya dan memastikan bahwa kekurangan pengetahuan kita tentang hal-hal lain tidak akan memengaruhi pemberian pelayanan tersebut. Kompetensi budaya adalah seperangkat perilaku, sikap, dan kebijakan yang mempermudah system, lembaga, atau individu untuk dapat melakukan fungsinya secara efektif bersama klien dan masyarakat yang berasal dari beraneka ragam kebudayaan. Kompetensi mengandung pengertian tentang keterampilan yang membantu menerjemahkan keyakinan dan orientasi ke dalam tindakan dan perilaku dalam konteks interaksi sehari-hari dengan klien wanita dan keluarga mereka. Kompetensi budaya merupakan kemampuan pemberi pelayanan kesehatan untuk menghormati dan menghargai semua keyakinan, gaya interpersonal, sikap, dan perilaku klien juga staf kesehatan dari berbagai budaya yang memberi pelayanan kesehatan. Semua nilai ini harus digabungkan pada semua tingkatan – dari kebijakan dan administrasi sampai praktik klinis [Randall-David, E. Culturally Competent HIV Counseling and Education. Rockville, MD: DHHS Maternal and Child Health Bureau, 1994 and Roberts, R., et al. Developing Culturally Competent Programs for Families of Children with Special Needs (Monograph), 2nd ed. Washington, DC: Georgetown University Child Development Center, 1990].

Kompetensi budaya juga merupakan sebuah proses yang memungkinkan perawat-bidan bersentuhan dengan budayanya sendiri dan pengaruhnya pada praktik klinis. Semua ini merupakan langkah awal untuk mencapai keefektifan tindakan yang didasarkan pada lintas-budaya. Budaya juga berdampak pada pola perilaku manusia yang terintegrasi, yang meliputi pola piker, komunikasi, tindakan, kebiasaan, keyakinan, nilai-nilai, dan institusi kelompok ras, keagamaan, social-ekonomi, pendidikan, pekerjaan, atau geografis. Budaya menjelaskan semua aspek perawatan kesehatan – bagaimana informasi perawatan kesehatan diterima dan dirasakan, apa yang dianggap sebagai sebuah masalah kesehatan, bagaimana gejala terlihat, siapa yang akan melakukan perawatan dan dimana, serta jenis perawatan seperti apa yang dapat diterima dan terjangkau oleh klien [Rorie, J. L., Paine, L. L., Barger, M. K. Primary care for women: Cultural competence in primary care services. J. Nurse-Midwifery 41(2):92-100 (March/April) 1996; U.S Department of Health and Human Services, Offices of Minority Health. National Standards for Culturally and Linguistically Appropriate Services in Health Care, Executive Summary. March 2001; and Lynch, E., and Hanson, M. J., eds. Developing Cross-Cultural and Their Families, 2nd ed. Baltimore, MD: Paul H. Brooks Publishing, 1999]. Untuk mulai memahami konsep budaya dan begitu banyak cara pandang dunia yang dibawa setiap individu ke dalam suatu situasi, sangatlah penting untuk mengingat ketiga hal di bawah ini:

1. Budaya bukan hal yang statis melainkan bersifat dinamis dan selalu berubah. Praktik budaya yang diingat individu dan praktik dari negara atau tempat asal mereka sering kali berbeda dari praktik yang sedang terjadi di tempat yang sama pada saat ini.

2. Budaya, bahasa, etnik, dan ras bukanlah factor yang paling memengaruhi nilai, keyakinan dan perilaku seseorang. Pekerjaan, status social-ekonomi, pembawaan budaya, dan tingkat pendidikan memengaruhi cara seseorang menjelaskan dan menggambarkan dirinya sendiri.

3. Saat menggambarkan sebuah kerangka budaya atau praktik budaya, perbedaan dalam-kelompok sama besarnya dengan perbedaan antar-kelompok. Dengan kata lain, tidak ada budaya dan tidak ada etnik, linguistic, atau kelompok ras yang monolitik. Ada berbagai variasi sikap, keyakinan, dan perilaku yang sangat luas. Anggapan bahwa seseorang yang memiliki budaya dan bahasa serupa adalah sama, dapat memunculkan kesalahan yang berbahaya [Lynch, E., and Hanson, M. J., eds. Developing Cross-Cultural and Their Families, 2nd ed. Baltimore, MD: Paul H. Brooks Publishing, 1999].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar