Rabu, 25 September 2013

Pertuhan Janin Terhambat (PJT)

Pertumbuhan janin terhambat (PJT) kini merupakan suatu entitas penyakit yang membutuhkan perhatian bagi kalangan luas, mengingat dampak yang ditimbulkan jangka pendek berupa risiko kematian 6-10 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan bayi normal. Dalam jangka panjang terdapat dampak berupa hipertensi, arteriosklerosis, stroke, diabetes, obesitas, resistensi insulin, kanker dan sebagainya. Hal tersebut terkenal dengan Barker hipotesis yaitu penyakit pada orang dewasa telah terprogram sejak dalam uterus.
Kini WHO menganjurkan agar kita memperhatikan masalah ini karena akan memberikan beban ganda. Di Jakarta dalam suatu survey ditemukan bahwa pada golongan ekonomi rendah, prevalensi PJT lebih tinggi (14%) jika dibandingkan dengan golongan ekonomi menengah atas (5%).

A.     DEFINISI
Pertumbuhan janin terhambat ditentukan bila berat janin kurang dari 10% dari berat yang harus dicapai pada usia kehamilan tertentu. Biasanya perkembangan yang terhambat diketahui setelah 2 minggu tidak ada pertumbuhan. Dahulu PJT disebut sebagai intra uterine growth retardation (IUGR), tetapi istilah retardation kiranya tidak tepat. Tidak semua PJT adalah hipoksik atau patologik karena ada 25-60 % yang berkaitan dengan konstitusi etnik dan besar orang tua.

B.      PENYEBAB
Penyebab PJT diantaranya ialah sebagai berikut.
1.      Hipertensi dalam kehamilan
2.      Gamely
3.      Anomaly janin / trisomi
4.      Sindrom Antifosfolipid
5.      SLE
6.      Infeksi: rubella, sifilis, CMV
7.      Penyakit jantung
8.      Asma
9.      Gaya hidup: merokok, narkoba
10.  Kekurangan gizi-ekonomi rendah
Pada kehamilan 16-20 minggu sebaiknya dapat ditentukan apakah ada kelainan / cacat janin. Apabila ada indikasi sebaiknya ditentukan adanya kelainan genetic.

C.      PATOLOGI
Pada kelainan sirkulasi uteroplasenta akibat dari perkembangan plasenta yang abnormal, pasokan oksigen, masukan nutrisi, dan pengeluaran hasil metabolic menjadi abnormal. Janin menjadi kekurangan oksigen dan nutrisi pada trimester akhir sehingga timbul PJT yang asimetrik yaitu lingkar perut yang jauh lebih kecil daripada lingkar kepala. Pada keadaan yang parah munkin akan terjadi kerusakan tingkat seluler berupa kelainan nucleus dan mitokondria.
Pada keadaan hipoksia, produksi radikal bebas di plasenta menjadi sangat banyak dan antioksidan yang relative kurang (misalnya: preeclampsia) akan menjadi lebih parah. Soothill dan kawan-kawan (1987) telah melakukan pemeriksaan gas darah pada PJT yang parah dan menemukan asidosis dan hiperkapnia, hipoglikemia, dan eritroblastosis. Kematian pada jenis asimetrik lebih parah jika dibandingkan dengan simetrik.
Penyebab PJT simetrik ialah faktor janin atau lingkungan uterus yang kronik (diabetes, hipertensi). Faktor janin ialah kelainan genetic (aneuplodi), umumnya trisomi 21, 13, dan 18. Secara keseluruhan PJT teryata hanya 20 % saja yang asimetrik pada penelitian terhadap 8.722 di Amerika.

D.     DIAGNOSIS
Secara klinik awal pertumbuhan janin yang terhambat dikenal setelah 28 minggu. Namun, secara ultrasonografi mungkin sudah dapat diduga lebih awal dengan adanya biometri dan taksiran berat janin yang tidak sesuai dengan usia gestasi. Secara klinik pemeriksaan tinggi fundus umumnya dalam sentimeter akan sesuai dengan usia kehamilan. Bila lebih rendah 3 cm, patut dicurigai adanya PJT, meskipun sensitivitasnya hanya 40%. Smith dan kawan-kawan melakukan observasi pada 4.229 kasus dan menemukan bahwa pertumbuhan yang suboptimal sejak trimester pertama berkaitan dengan kelahiran preterm dan kejadian PJT.
Sebaiknya kepastian PJT dapat dibuat apabila terdapat data USG sebelum 20 minggu sehingga pada kehamilan 32-34 minggu dapat ditentukan secara lebih tepat.
Biometri yang menetap terutama pengawasan lingkar abdomen yang tidak bertambah merupakan petanda awal PJT; terlebih diameter biparietal yang juga tidak bertambah setelah lebih dari 2 minggu.
Pemeriksaan secara Doppler arus darah: arteri umbilical, arteri uterine, dan arteri spiralis mungkin dapat mencurigai secara awal adanya arus darah yang abnormal atau PJT.
Cairan amnion merupakan petanda kesejahteraan janin. Jumlah cairan amnion yang normal merupakan indikasi fungsi sirkulasi janin relative baik. Bila terdapat oligohidramnion, patut dicurigai perburukan fungsi janin.
Patut difahami, sekalipun tidak ditemukan kelainan mayor pada USG, ternyata masih mungkin ditemukan kelainan bawaan sebanyak 20%.

E.      MANAJEMEN
Setelah ditetapkan tidak ada kelainan janin, perlu dipertimbangkan bila janin akan dilahirkan. Bagi situasi di Indonesia, saat yang tepat ialah bergantung pada arus darah arteri umbilical dan usia gestasi. Arteri umbilical yang tidak memiliki arus diastolic (absent diastolic flow) bahkan adanya arus terbalik (reverse flow) akan mempunyai prognosis buruk berupa kematian janin dalam < 1 minggu. Usia optimal untuk melahirkan bayi ialah 33-34 minggu dengan pertimbangan sudah dilakukan pematangan paru. Pemeriksaan kardiotokografi akan membantu diagnosis adanya hipoksia janin lanjut berupa deselerasi lambat denyut jantung. Skor fungsi dinamik janin plasenta yaitu upaya mengukur peran PJT pada profil biofisik akan membantu menentukan saatnya melakukan terminasi kehamilan.




Skor Fungsi Dinamik Janin Plasenta

Skor 2
0
Hasil NST
Reaktif
Nonreaktif
NST + stimulasi akustik
Akselerasi
Tanpa akselerasi
Gerak napas
+
-
SD arteri umbilical
< = 3
> 3
Indeks cairan amnion
> = 10
< 10
Kurangi dengan 2 pada: PJT; Deselerasi (+) NST = Non Stress Test
(kurangi dengan nilai 2 pada PJT dan deselerasi lambat)

Penggunaan stimulasi akustik penting meningkatkan sensitivitas, mengingat tedapat positif palsu pada janin yang tidur. Dengan stimulasi, janin terpaksa dibangunkan sehingga terhindar dari gambaran non reaktif. Skor maksimum ialah 10 dimana dianggap janin masih baik. Dengan demikian, bila hasil penilaian ditemukan < 6, maka dapat dicurigai adanya asidosis (sensitivitas 80%, spesifisitas 89%), sehingga sebaiknya dipilih melahirkan dengan seksio sesarea. Sebaliknya bila ditemukan nilai yang ≥ 6 maka perlu dipertimbangkan melahirkan bayi dengan induksi. Akibat oligohidramnion, mungkin terjadi kompresi tali pusat atau sudah terjadi insufisiensi plasenta (deselerasi lambat) sehingga dapat membahayakan janin yang mengalami asidosis. Dalam hal itu sebaiknya dipertimbangkan seksio sesarea. Pemeriksaan gas darah tali pusat sangat dianjurkan untuk membantu manajemen pascakelahiran.

Pengobatan dengan kalsium bloker, betamimetik dan hormone ternyata tidak mempunyai dasar dan bukti yang bermakna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar