Setiap menit, setiap hari, di mana pun di dunia, seorang ibu meninggal dunia akibat komplikasi yang muncul selama masa hamil dan persalinan. Sebagian besar kematian ini tidak dapat dihindari [WHO, UNFPA, UNICEF, and World Bank. Reduction of Maternal Mortality: A Joint WHO/UNFPA/UNICEF/World Bank Statement. Geneva: WHO, 1999, p.2]
Sejak tahun 1982, Organsasi Kesehatan Dunia (WHO) telah meninjau secara sistematis indeks literature medis, publikasi tanpa-indeks, dan laporan dari pejabat nasional dan local mengenai angka kematian ibu dan perawatan maternitas di seluruh dunia. Perkiraan terbaik yang dilakukan WHO pada tahun 1987 menunjukkan bahwa terdapat kelebihan, sebesar 500.000 kematian-terkait kehamilan setiap tahun, sebagian besar kematian dapat dicegah [WHO, UNFPA, UNICEF, and World Bank. Reduction of Maternal Mortality: A Joint WHO/UNFPA/UNICEF/World Bank Statement. Geneva: WHO, 1999, p.2]. analisis data selanjutnya menunjukkan bahwa jumlah kematian ibu mendekati angka 585.000 per tahun [World Health Organization. Revised 1990 Estimates of Maternal Mortality: A New Approach by WHO and UNICEF. Geneva: WHO, April 1996]. Dari jumlah mendekati 600.000 ini, lebih dari setengahnya datang dari hanya delapan negara, yaitu Bangladesh, Ethiopia, India, Indonesia, Nepal, Nigeria, Pakistan, dan Uganda. Di Nepal setiap lima menit ada ibu yang meninggal. Sedangkan di Nigeria setiap 10 menit.
Setiap menit di seluruh dunia
380 wanita mengalami kehamilan
190 wanita menghadapi kehamilan tidak direncanakan dan tidak diinginkan
110 wanita mengalami komplikasi-terkait kehamilan
40 wanita mengalami aborsi yang tidak aman
1 wanita meninggal
White Ribbon Alliance for safe motherhood. Awareness, Mobilization, and Action for Safe Motherhood: A Field Guide. Washington, DC: Networks for Health, 2000.
Safe Motherhood Initiative diluncurkan pada tahun 1987 di Nairobi, Kenya. Pertemuan ini bertujuan meningkatkan kewaspadaan, menyiagakan masyarakat internasional terhadap tragedy laten, dan memobilisasi upaya dan sumber-sumber untuk kepentingan ibu. Pada World Summit for Chlidren yang diselenggarakan pada tahun 1990, 166 negara bergabung untuk mencapai sasaran rencana tindakan. Salah satunya ialah mengurangi kematian ibu hingga 50% pada tahun 2000 [Ross, S. R. Promoting Quality Maternal and Newborn Care: A Reference Manual for Program Managers. Washington, DC: Cooperative for Assistance and Relief Everywhere (CARE), 1998]. Pada bulan September 2000, para negara anggota PBB mengadopsi Millenium Development Declaration yang memberi penekanan pada kesehatan ibu serta kehamilan dan persalinan yang aman dalam perkembangan di setiap negara. Sasarannya ialah mengurangi angka kematian ibu sebesar 75% antara tahun 1990 dan 2015. Indicator keberhasilan pencapaian sasaran ini ialah proporsi kelahiran yang ditolong oleh tenaga terampil [Family Care International. Skilled Care During Childbirth: Policy Brief. New York: FCI, 2002].
Angka kematian, kendati sulit diperoleh, merupakan indicator yang sensitive untuk mengetahui tingkat kesehatan ibu. Walaupun demikian, dalam mempertimbangkan kematian ibu, sangat penting untuk tidak mengabaikan rentang masalah kesehatan yang lebih luas, yang berkaitan dengan kehamilan, antara lain trauma ibu, penyakit kronis, dan penurunan keluaran energy. Factor-faktor ini memiliki konsekuensi bagi keluarga dan ekonomi. Kematian ibu hanyalah cerminan puncak kecil gunung permasalahan kesehatan ibu. Jalan menuju kematian ibu dan ketidakmampuan bagi banyak wanita dimulai pada saat mereka dilahirkan sebagai wanita. Di sisi lain, angka kesakitan bahkan lebih sulit untuk dijelaskan dan diukur. Banyak wanita tidak pernag memasuki system perawatan kesehatan selama hamil, bahkan bila mereka sakit parah. Hal ini membuat pencararan data kematian atau ketidakmampuan mereka dalam data statistic atau laporan lain sulit dilakukan.
Banyak sekali hal yang memberi kontribusi kematian ibu di negara-negara berkembang. Antara lain, perawatan yang tidak tepat hingga persediaan yang kurang, transportasi ke pusat rujukan, kemampuan melakukan pembedahan, bank darah, dan uang untuk digunakan membiayai perawatan yang tersedia. Semua factor ini dikategorikan sebagai “lingkungan yang memampukan atau system perawatan” sebagai pakem yang membedakannya dari seseorang yang menyediakan perawatan kesehatan yang dibutuhkan [Family Care International. Saving Lives: Skilled Attendance at Childbirth. Background paper. New York: FCI, in collaboration with Safe Motherhood Inter-Agency Group, 2001].
Factor-faktor budaya yang membatasi akses ke pusat pelayanan kesehatan cenderung kurang dikenal dan tidak didokumentasi dengan baik. Factor-faktor, seperti penyembuhan secara spiritual, penggunaan jamu-jamuan local, obat-obatan dijual bebas, serta praktik tradisional yang mengklaim mereka memberi jasa secara cuma-cuma, pada suatu waktu akan menimbulkan banyak kerumitan dalam mendapatkan perawatan kesehatan yang tepat. Apabila suatu penyakit diyakini disebabkan oleh ilmu hitam atau kurang keyakinan, maka pelayanan medis ortodok yang didasarkan pada teori tentang kuman bukanlah alternative penyelesaian yang tepat. Factor-faktor budaya juga mencakup norma-norma yang memang sudah ada dalam masyarakat. Norma-norma ini memberi kejelasan tentang status wanita. Sebagai konsekuensinya, keputusan wanita untuk mencari perawatan tepat waktu akan dipengaruhi oleh norma yang berlaku dalam masyarakat.
Isu tentang kualitas dan kemudahan memasuki perawatan kesehatan harus dikupas sebagai upaya menghadapi masalah tentang kematian dan kesakitan ibu. Isu-isu tersebut harus dianalisis dengan memperhatikan kerangka tiga jenis keterlambatan [Thaddeus, S., and Maine, D. Too Far to Walk: Maternal Mortality in Context.Columbia University, May 1990]:
1. Keterlambatan dalam mengenali bahwa ada suatu masalah
2. Keterlambatan dalam mencapai tingkat perawatan yang tepat begitu masalah/komplikasi dikenali
3. Keterlambatan dalam menerima perawatan yang tepat setelah tiba di tempat pelayanan kesehatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar